SELAMAT DATANG DIBLOG SMPN 15 BANJARMASIN

Kamis, 09 Desember 2010

DAHSYATNYA KAMPUNG KUIN DALAM SEJARAH BANJARMASIN

Bandarmasih', 'Banjarmasih', atau 'Banjarmasin' ternyata merupakan nama-nama yang sama untuk menyebut ibukota propinsi Kalimantan Selatan yang usianya telah mencapai hampir lima ratus tahun dan sarat dengan kisah heroik.

Keadaan Banjarmasin yang berada di bawah permukaan air laut serta mempunyai banyak sungai -besar dan kecil- membuat masyarakatnya akrab dengan kehidupan di air. Sungai , air dan manusia saling mempunyai keterkaitan dan isi mengisi untuk hidup. Di beberapa tempat atau bagian tertentu daerah aliran sungai terdapat 'pasar di atas air', atau pasar terapung. Untuk waktu sekarang, pasar terapung di Muara Kuin merupakan salah satu sisa dari banyak lokasi pasar terapung yang pernah ada.

Muara Kuin atau tepatnya Kampung Kuin di Kelurahan Kuin Utara sekarang, merupakan wilayah bersejarah. Pada awal masa berdirinya, kota Banjarmasin memang bermula di Kampung Kuin; sebuah bandar orang-orang Melayu yang didirikan Patih Masih pada permulaan Abad 15. Kampung Kuin, Sungai Kuin dan daerah-daerah disekitarnya menjadi tempat aktivitas masyarakat dan kawula Kerajaan Banjar yang ramai di bidang ekonomi dan perdagangan. Sampai keadaan berubah ketika watak dan tabiat bangsa-bangsa kolonial memasuki wilayah ini di lain masa.

Kuin sebagai pusat pemerintahan dan ibukota Kerajaan Banjar pada masa itu lebih popoler dengan sebutan 'Bandarmasih' atau 'Banjarmasih', sedangkan nama 'Banjarmasin' timbul akibat kesalahan pengucapan para serdadu kolonial dan orang-orang Belanda maupun pendatang asing lainnya dari Erofa. Sampai sekitar tahun 1664, arsip Kerajaan Belanda berupa surat-surat yang dikirim ke wilayah Hindia Belanda untuk sultan-sultan yang memerintah di Kerajaan Banjarmasih, tetap menyebut Kerajaan Banjarmasih dalam versi ucapan Belanda; 'Bandzermash'. Kemudian sesudah tahun 1664 menjadi 'Bandjermassinghh', dan 'Bandjermasing' (tanpa huruf s dan hh).

Sebagaimana kerajaan maritim bercorak Islam lainnya di Nusantara sekitar Abad ke-16 dan ke-17, 'Banjarmasih' yang terletak di pesisir dan muara sungai besar sekitar Muara Kuin sekarang, menggantungkan perekonomiannya di bidang perdagangan dan pelayaran luar negeri.

Jung-jung Banjar yang besar untuk pelayaran inter-insuler dan interkontinental, terutama untuk pelayaran ke Tanah Seberang (Jawa), telah mampu dimiliki dan dibuat galangan kapal 'Banjarmasih'. Sehingga sebagai pusat kerajaan dan kota pelabuhan, 'Banjarmasih' saat itu merupakan bandar internasional yang ramai disinggahi kapal-kapal dari berbagai wilayah Nusantara dan dari berbagai bangsa di dunia.

Dalam kurun waktu itu pula, di bawah kekuasaan raja keempat Sultan Mustain Billah atau lebih dikenal dengan sebutan 'Marhum Panembahan' yang memerintah tahun 1595-1620, Banjarmasih dengan pusat pemerintahan di Karang Intan-Martapura(setelah berpindah dari Kraton Banjar di Kuin yang terbakar habis akibat serangan meriam VOC Belanda, pada tahun 1612) menjadi kerajaan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya sehingga sering menerima upeti tahunan dari raja-raja yang berada di bawah pertuanan Kerajaan Banjarmasih. Menurut sebuah berita Belanda, Kerajaan Banjarmasih pernah memiliki prajurit sampai berjumlah 50.000 orang saat itu.

Dengan kekuatan sebanyak itu, wajar bila kemudian Banjarmasih mampu membendung pengaruh Tuban, Arosbaya, maupun kekuatan yang lebih besar lagi seperti Mataram yang bermaksud 'menggantikan' dominasi Demak. Mungkin itu pula sebabnya mengapa kerajaan-kerajaan Tanah Bumbu dan Pagatan, Pulau Laut, Kerasikan, Paser, Berau, Kutai di pantai timur, Kotawaringin maupun Landak, Sukadana dan Sambas di belahan tengah dan barat pulau Kalimantan mengakui pertuanan Kerajaan Banjarmasih.

Abad ke-17 itu juga merupakan saat memuncaknya perdagangan lada yang merupakan satu-satunya komoditi ekspor Kerajaan Banjarmasih. Aktivitas pelayaran dan perdagangan yang dibiayai dengan modal penguasa dan para bangsawan Banjar membuat armadanya mampu melintasi lautan sampai ke Aceh dan Chocin Cina. Para penguasa berusaha memperoleh tanah garapan yang lebih luas lagi untuk lahan peneneman lada.

Penanaman lada ini makin berkembang seiring kedatangan pedagang-pedagang bermodal dari luar pulau seperti Melayu dan Jawa yang membawa serta keluarga dan kapal-kapal besar. Mereka adalah penduduk bandar-bandar besar di pesisir utara pulau Jawa yang melarikan diri ketika kota-kota mereka diserbu oleh laskar-laskar Sultan Agung dari Mataram. Kedatangan para saudagar Melayu dan Jawa ini makin menambah ramai iklim perdagangan di Kerajaan Banjarmasih saat itu.

Dengan perahu-perahu layarnya, para pedagang asing dari Tiongkok, Siam, Johor, Palembang, Portugis, Inggris, Belanda datang silih berganti merapat di bandar ini untuk berniaga barang-barang komoditi seperti emas, permata, cengkih, lada, pala, champor, kulit buaya, muntiara, rotan, besi dan lain-lain. Sedangkan Banjar mengimpor perhiasan, porselen, garam, gula, tawas dan keperluan sandang untuk penduduknya.

JEJAK SEJARAH dan BUDAYA

Sepanjang daerah tepian sungai Martapura sampai ke Kampung Kuin merupakan wilayah kota lama Banjarmasin jauh sebelum berdatangannya bangsa-bangsa Erofa. Jejak-jejak sebagai kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan, kegiatan pelayaran dan perdagangan orang-orang Banjar tempo dulu masih meninggalkan sisa berupa bangunan-bangunan tua berasitektur tradisional 'rumah Banjar' yang berserakan di sepanjang tepi sungai, baik yang masih utuh, setengah ambruk ataupun yang hanya tinggal bekas-bekasnya saja lagi, dengan mudah dapat ditemukan.

Begitu juga tempat-tempat bersejarah seperti makam tokoh penyebar agama Islam 'Syekh Surgi MUfti' yang berada di Kampung Surgi Mufti. Makam pahlawan-pahlawan yang terkenal pada masa berkecamuknya Perang Banjarmasin, termasuk makam pahlawan nasional pencetus Perang Banjarmasin di tahun 1859-1905,Pangeran Antasari, yang semula berada di Muara Teweh - Kalimantan Tengah, kini dimakamkan di lokasi khusus tidak jauh dari Mesjid Jami - Banjarmasin. Selain itu ada juga masjid peninggalan raja Kesultanan Islam Banjarmasin pertama 'Masjid Sultan Suriansyah' dan komplek pemakaman dinasti Raja-raja Islam Banjarmasin di Kampung Kuin.

Sayangnya, bentuk fisik bangunan peninggalan bersejarah bekas kraton Banjarmasin pertama di Kampung Kuin yang diperkirakan sudah berdiri sejak tahun 1526 M, sulit ditemukan secara utuh, kecuali komplek pemakaman dan masjid kerajaan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari beberapa kali peristiwa kelabu yang menimpa kraton Banjar saat itu. Misalnya akibat yang dialami setelah penyerbuan armada kapal perang VOC Belanda pada tahun 1612 yang meluluh-lantakkan dan membakar habis Kraton Banjarmasih

Di tahun 1612 itu Belanda mengirimkan armada kapal perangnya yaitu de Hzewind, de Brack, de Halve Maan dan Klein van de Veer untuk menyerang Banjarmasih.

Lalu pada tahun 1677, kraton yang menjadi kediaman Pangeran Adipati Anom - sultan Banjar ke sembilan, kembali rata dengan tanah akibat penyerbuan orang-orang Melayu dan Bugis. Peristiwa yang sama terjadi lagi 24 tahun kemudian, kembali bumi Banjar memerah oleh api peperangan yang disulut Inggris pada tahun 1701 sehigga memporak-porandakan kraton Banjarmasih.

Peristiwa-peristiwa penyerbuan dan peperangan dengan bangsa asing itulah yang akhirnya menghapus jejak sejarah keberadaan kraton Banjar di Kampung Kuin hampir tanpa bekas sama sekali, baik yang ada di Kampung Kuin - Banjarmasin, maupun di Karang Intan dan Kayutangi - Martapura. Jejak salah satu kerajaan maritim terbesar dan terkuat di kawasan tengah Nusantara pada permulaan Abad ke-17.

Bila diurutkan sejak di Kraton Kuin - Banjarmasin sampai di Kraton Karang Intan dan Kayutangi di Martapura, terdapat kurang lebih 20-an orang raja-raja yang memerintah dan bertahta di Kesultanan Banjarmasin. Mereka adalah :

No. Nama Raja Thn. Memerintah (Masehi) No. Nama Raja Thn. Memerintah(Masehi)

1.

Sultan Suriansyah 1526 - 1545 12. Sultan Hamidullah 1700 - 1734
2. Sultan Rakhmatullah 1545 - 1570 13. Sultan Tamjidullah 1734 - 1759
3. Sultan Hidayatullah 1570 - 1595 14. Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah 1759 - 1761
4. Sultan Mustainbillah 1595 - 1620 15. Sultan Sulaiman Saidullah 1761 - 1798

5.

Sultan Inayatullah 1620 - 1637

16.

Sultan Sulaiman Rakhmatullah 1801 - 1825
6. Sultan Saidullah 1637 - 1642 17. Sultan Adam Al-Wasik Billah 1825 - 1857
7. Sultan Tahlilullah 1642 - 1660 18. Sultan Hidayatullah 1857 - 1862

8.

Sultan Arm-Allah 1660 - 1663

19.

Sultan Tamjidullah II (versi Belanda) 1857 - 1859

9.

Sultan Surianata 1663 - 1679

20.

Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) 18.. - 1862
10. SultanAmr-Allah Bagus Kesuma 1680 - 1700 21. Panembahan Muhammad Said ………
11. Sultan Tahmidullah 1700 22. Sultan Muhammad Seman 1865 - 1905

Ada beberapa versi dari banyak penulis sejarah mengenai urutan raja-raja Kesultanan Banjarmasin ini. Bila mengikuti versi sejarawan Banjar, setelah Sultan Aliuddin Aminullah wafat, maka pamandanya -Sultan Tamjidullah- naik tahta lagi,sekaligus sebagai wali untuk putra mahkota dari faja yang wafat. Beberapa tahun setelah itu, ia digantikan anaknya yang di masa mudanya bernama Pangeran Natanegara atau Pangeran Natadilaga, yang mana setelah manjadi raja mempunyai banyak gelar atau sebutan sesuai zaman atau masa ia memerintah, antara lain; Susuhunan Nata Alam, Sultan Sulaiman Saidullah atau Sultan Tahmidullah II, Panembahan Batu, Panembahan Anum. Menurut M.Idwar Saleh, yang paling terkenal dari nama-nama itu adalah Susuhunan Nata Alam; salah satu raja terbesar dan terlama yang pernah memerintah/menduduki tahta Kesultanan Banjar.

Ada pun tiga orang raja terakhir (Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dan Sultan Muhammad Seman) dalam sumber-sumber sejarah lokal Banjar tidak ditemukan catatan mengenai periodesasi jabatan mereka sebagai raja-raja Banjar yang pernah berkuasa. Sebuah buku yang diterbitkan Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan berjudul 'Urang Banjar dan Kebudayaannya', tidak mencantumkan nama-nama mereka sebagai raja-raja yang pernah ada di Kerajaan Banjar. Hal ini kemungkinan sumber pencatatan yang mereka ambil hanya berasal dari catatan-catatan pemerintah kolonial Belanda saja (lihat Noorlander dalam 'Urang Banjar dan Kebudayaannya' 2005:28)

Begitu juga M.Idwar Saleh; dalam bukunya tidak menyinggung sama sekali dua raja terakhir dalam periodesasi pemerintahan raja-raja Banjar. Dalam catatannya hanya sedikit ada disebutkan nama Pangeran Hidayatullah, dimana pada tahun 1860 -1862 Pangeran Hidayatullah di angkat oleh rakyat Kerajaan Banjar sebagai raja.

Padahal raja terakhir -Sultan Muhammad Seman- termasuk salah satu raja yang terlama memerintah dan fenomenal di Kerajaan Banjar, walaupun statusnya adalah raja yang memerintah dalam masa peperangan. Kenapa dikatakan fenomenal? Sepanjang seluruh masa pemerintahannya selama lebih dari 40 tahun (1863 - 25 Januari 1905), beliau berada dalam kondisi antara hidup dan mati. Dalam rentang waktu kehidupan sejak masa kelahiran beliau, Keerajaan Banjar (Pemerintahan Pagustian) yang beliau dan ayahnda beliau pimpin berada dalam posisi berperang dengan Pemerintahan Kolonial Belanda yang dipimpin Residen Belanda di Banjarmasin.

Sultan Muhammad Seman mewarisi darah ksatria tulen; perpaduan yang sangat kental antara keturunan raja-raja Banjar terdahulu malalui Pangeran Antasari dengan para ksatria Dayak melalui ibunda beliau yang adalah saudara kandung dari Tumenggung Surapati yang merupakan kepala suku Dayak Siang Murung. Ibunda beliau (Nyai Fatimah) adalah perempuan Dayak Siang Murung yang dinikahi oleh Pangeran Antasari, ayahanda beliau, yang saat itu menjadi Pimpinan Perang Tertinggi sekaligus Kepala Pemerintahan dan Penata Agama Kerajaan Banjar.

Setelah Pangeran Antasari wafat karena sakit tua pada tanggal 11 Oktober 1862 di desa Bayan Begok - Sampirang, Muara Teweh, Gusti Muhammad Said dan Gusti Muhammad Seman oleh para pemimpin rakyat dan para kepala suku Dayak diangkat menggantikan posisi ayahanda beliau dan diberi nama Panembahan Muhammad Said dan Sultan Muhammad Seman. Setelah Panembahan Muhammad Said wafat karena sakit, Pemerintahan Pegustian dipegang oleh Sultan Muhammad Seman tetap dengan tanggung jawab sebagai Pimpinan Perang Tertinggi, Kepala Pemerintahan dan Kepala Agama. Sultan Muhammad Seman kemudian gugur sebagai syuhada dalam pertempuran sengit yang terjadi untuk ke sekian kalinya di benteng Kalang Barah - Muara Teweh melawan pasukan marsose Belanda pimpinan Letnan Christoffel.

Riwayat Pangeran Antasari dan Gusti Muhammad Seman dapat ditelusuri jauh ke belakang, yaitu di masa pemerintahan Sultan Tahmidullah atau Panembahan Kuning, yang masa pemerintahannya tidak terlalu lama. Setelah beliau wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada putera tertua bernama Pangeran Hamidullah (ketika naik tahta dinamai Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning). Sedangkan putera almarhum raja yang kedua, Pangeran Tamjidullah, dijadikan Patih atau Mangkubumi.

Sultan Hamidullah atau Sultan Kuning menurunkan Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah (raja ke-14) yang menikah dengan saudara sepupu beliau sendiri, yaitu anak perempuan Pangeran Tamjidullah, lalu menurunkan tiga orang anak berturut-turut Pangeran Rahmat, Pangeran Amir dan Pangeran Abdullah.

Putera raja yang kedua, Pangeran Amir, menurunkan Pangeran Mash'ud yang dikawinkan dengan Gusti Chadijah, puteri dari Sultan Sulaiman Saidullah. Dari perkawinan ini lahir Pangeran Antasari. Jadi Pangeran Amir (yang oleh Pangeran Natadilaga sebelum menjadi raja dan bekerjasama dengan VOC Belanda, diasingkan ke Srilangka) inilah yang merupakan kakek langsung dari Pangeran Antasari, dan pedatuan oleh Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari.

0 komentar:

Posting Komentar