SELAMAT DATANG DIBLOG SMPN 15 BANJARMASIN

Sabtu, 22 Januari 2011

TERAPI ION UNTUK KESEHATAN

Hampir separuh usianya Leni Marleini, 52 tahun, didera nyeri tulang. Bila hawa dingin datang, nestapanya bertambah. Tulang-tulangnya bergelutuk seperti akan copot dari persendian. Kalau sudah begitu, ia mesti menghabiskan hari-harinya di tempat tidur.

Sudah banyak dokter dan rumah sakit ia datangi. Sayang, hasilnya kurang memuaskan. Tertarik tayangan di televisi, warga Tanjung Duren, Jakarta Barat, itu akhirnya mencoba pengobatan alternatif berupa program detoksifikasi te-rapi ion dengan teknik merendam kaki.

Leni menjalani lima kali terapi di Klinik Beijing Herbal Center, Jakarta Barat. Saat diterapi, ia tidak merasakan apa-apa. Tapi warna air dalam baskom tempat kakinya direndam berubah kehitaman, pekat dan berbusa. Pada terapi yang keempat, warna air menjadi cokelat, semburat jingga dengan serpih-an putih.

Setelah menjalani terapi, Leni merasa kondisinya jauh lebih baik. Tekanan darahnya berangsur menjadi 120/80. Kadar gula darah dan kolesterolnya normal. Ia terlihat lebih sehat. Wajahnya segar berseri-seri. "Rematik tulang saya sudah jarang kambuh," ujarnya.

Dokter Budi Sugiarto Widjaja TCM, pengelola Klinik Beijing Herbal, men-jelaskan terapi ini menggabungkan peng-obatan modern dan tradisional Cina- dengan menggunakan listrik se-per-ti -akupunktur. Agar aman bagi tubuh, arus listrik yang digunakan tergolong ren-dah, 1-2 ampere dengan tegangan 5 volt. Arus itu dialirkan dalam rendaman air garam bersuhu hangat (40-50 derajat Celsius).

Air garam mengalirkan listrik le-bih deras ketimbang air tawar dan mengurai unsur air dan garam menjadi- ion negatif. Senyawa itu akan masuk ke tubuh dari kaki melalui jaringan meridian yang melintasi jaringan kulit kaki. Ion negatif yang masuk tadi mengikat ion positif berupa racun dan radikal bebas.

Ion negatif ini juga meresap dan menyebabkan pemulihan sel-sel tubuh. Saat sel mencapai keseimbangan, me-reka akan menyingkirkan ampas tubuh dan mengeluarkannya melalui pori-pori atau feses. "Jadi, yang didetoks itu sebenarnya ionnya, keluarnya lewat urine dan feses, bukan kolesterolnya. Banyak orang salah memahami," kata dokter lulusan Beijing University of Chinese Medicine itu.

Air yang digunakan untuk merendam kaki, saran dr Budi, sebaiknya air yang telah disuling. Bukan air ledeng pro-duksi PDAM yang mengandung logam. "Ini untuk meminimalkan percampuran warna dari tubuh dengan yang bukan dari tubuh," katanya.

Terapi ionisasi, menurut dr Budi, bisa menyembuhkan insomnia, sulit buang air besar, kelelahan, sinusitis, penyakit ku-lit, asam urat, diabetes, hipertensi, hing-ga kegemukan. Ia menjamin terapi ini aman dan tidak menimbulkan efek sam-ping, "karena tidak melakukan inva-si dalam tubuh seperti metode lainnya."

Agar efektif, pasien dianjurkan menjalani terapi tiga hari sekali, selama 10 kali dalam satu seri. Setelah itu, terapi diulang tiga bulan kemudian.

Terapi ini tidak dianjurkan bagi penderita sakit jantung. Terutama mereka yang habis menjalani bedah jantung, menggunakan obat jantung, dan mempunyai logam dalam tubuh.

Anak-anak di bawah usia 12 tahun, mereka yang punya luka di bagian kaki yang terendam, wanita hamil dan menyu-sui, dan orang yang pernah menjalani transplantasi organ tubuh juga dilarang menjalani terapi. "Pernah ada kasus di Surabaya, ada pasien meninggal karena memakai alat ini. Ternyata dia memakai alat pemacu jantung," ujar dr Budi.

Kendati banyak orang mengatakan terapi ini bermanfaat, tak sedikit yang meragukan metode ionisasi ini. Apalagi, Juli lalu, Laboratorium Biofisika Fakultas MIPA Universitas Airlangga, Surabaya, melansir hasil penelitian mereka soal perangkat terapi ion yang beredar di pasaran.

Alat terapi ion itu, menurut Kepala Laboratorium Profesor Suhariningsih, menghasilkan warna air yang sama saat diuji dengan mencelupkan kaki maupun tidak mencelupkan kaki ke air di dalam ember. "Perubahan warna air berasal dari elektrode, bukan dari ion tubuh yang keluar melalui kaki," kata Suhariningsih.

Elektrode yang digunakan berbahan baja tahan karat yang dijual di pasaran. Dinas Kesehatan Jawa Timur langsung menjadikan hasil penelitian ini sebagai dasar untuk melarang penggunaan alat itu di masyarakat.

Jadi, silakan mencoba. Tapi jangan lupa mewaspadai alat terapi palsu.

Sumber: Majalah Tempo, 21 Agustus 2006

0 komentar:

Posting Komentar